JAKARTA, KOMPAS.com – Mugiarti (65) sudah sembilan tahun tidak bisa bangun sendiri dari tempat tidur karena penyakit pengapuran dan rematik yang diidapnya.
Saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Mugiarti sedang berbaring di kasur yang ada di ruang tamu. Sembari diwawancarai, Mugiarti terus berbaring.
Berlapiskan selimut sepinggang, Mugiarti antusias untuk bercerita tentang kehidupannya.
Pengapuran dan rematik sejak lama
Daster biru muda bercorak bunga membalut tubuh Mugiarti yang kurus. Tulang selangka ibu tiga anak ini pun tampak jelas.
Kerut wajah dan rambut putih seleher tak lagi sanggup menutupi usia Mugiarti kini.
“Sudah sembilan tahun saya enggak bisa jalan. Pengapuran sama rematik, sudah enggak bisa bangun, enggak bisa apa-apa, ngesot aja,” ujar Mugiarti mengawali cerita di rumahnya, Kalipasir, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/7/2024).
Meski lututnya sudah tak bisa lagi diluruskan, Mugiarti tak patah arang. Suaranya terdengar begitu ceria ketika menceritakan soal anak bungsunya yang tak lama lagi akan menikah. Tahun ini, kata Mugiarti, si bungsu akan genap 25 tahun.
Sambil menarik sedikit selimutnya, jari-jari Mugiarti yang kurus tampak “lengket”. Dia mengatakan, jarinya sudah kaku dan sulit untuk ditekuk lagi.
“(Jari) enggak bisa bengkok, itu sudah rapat, pada bengkok-bengkok. Lutut sudah enggak bisa diselonjorin, begini saja saya tidur,” lanjut Mugiarti.
Setiap kali Mugiarti mau bangun dan duduk, dia pun harus dibantu. Misalnya, saat Kompas.com meminta izin untuk mengabadikan dirinya dalam foto.
Mugiarti dengan senang hati mengiyakan permintaan ini. Dia lantas meminta suaminya, Maryadi (66), untuk membantunya beranjak. Saat itu, Maryadi mengangkat kepala Mugiarti dan mendorong sedikit agar tubuh istrinya ini bisa terduduk.
Meski kesulitan untuk memutar badan, Mugiarti tetap memperlihatkan senyumnya. Sesekali, dia menyisir rambutnya dengan jari sebelum kembali tersenyum.
“Kemarin mau potong rambut, cuma anak enggak sempat (potongkan),” ucap dia.
Meski tulang-tulangnya sudah rapuh dan keropos, mantan karyawan perusahaan travel ini mengaku baik-baik saja. Tidak ada penyakit lain yang menggerogoti badan Mugiarti. Hasil cek asam urat dan kolesterolnya pun selalu menunjukkan hasil yang baik.
Mugiarti menceritakan, penyakit ini tidak datang tiba-tiba. Jauh sebelum anak ketiganya lahir, lututnya sudah bermasalah. Dia pun sudah mengidap asma dan tak tahan dengan suhu dingin.
Pernah bekerja
Saat itu, Mugiarti sudah punya dua anak, mereka lahir pada tahun 1984 dan 1988. Kemudian sekitar 1991, Mugiarti memutuskan untuk bekerja kembali.
Dia diterima di salah satu perusahaan travel yang berkantor di Cikini. Sehari-hari Mugiarti ditugaskan untuk mengambil tiket perjalanan dari vendor atau berbelanja untuk kebutuhan kantor.
“Belanja alat-alat kantor, ngepel juga sih, tapi ruangannya kecil. Disuruh beli makan buat bos, ambil tiket juga. Enggak jauh-jauh sih, ambilnya di Kwitang situ,” imbuh Mugiarti.
Selama delapan tahun, Mugiarti bolak-balik Kwitang, Senen, Atrium, dan Cikini dengan menumpang bajaj.
Dia tak lagi ingat, berapa gaji yang diterimanya. Tapi, itu cukup untuk menambah pemasukan untuk kebutuhan rumah tangga, mengingat suaminya masih kerja serabutan.
Kala itu, Mugiarti tak memusingkan nyeri di lutut dan sendinya. Apalagi, dia dan suami baru saja menyambut anak ketiga mereka pada 1999. Mugiarti lantas berhenti kerja dan fokus membesarkan anak di rumah.
Jarang minum obat dan tak berobat
Memasuki masa senjanya, Mugiarti mengaku tak lagi mau mengonsumsi obat. Dia baru mau minta tolong dibelikan obat dari klinik kalau misal batuk atau flu mendera. Obat-obat pengapuran atau rematik tak lagi disentuhnya.
“Sudah dua tahun enggak minum obat. Habisnya, (sudah) minum, sakit lagi, minum (obat), sakit lagi. Sudah, dah biarin ajalah,” tutur dia lagi.
Mugiarti mengaku tidak pantang makanan. Tapi, sehari-harinya dia memang lebih sering makan sayur dengan sedikit nasi.
Sementara itu, dia hanya terapi di rumah dengan alat-alat yang ada. Bahkan, dua tahun terakhir Mugiarti tak pernah keluar rumah, apalagi untuk berobat ke dokter.
“Dulu sering (cek ke dokter). Sudah berapa lama saya enggak lagi. Anak saya enggak sempat bawa,” lanjut dia.
Mugiarti enggan menyalahkan anaknya. Dia sadar ketiga anaknya sudah sibuk bekerja dan sebagian sudah berkeluarga.
Anak pertama Mugiarti memang tinggal serumah dengannya. Tapi, anak dan menantunya ini juga sibuk dan tak sempat membawa ibu mereka ke dokter lagi.
Maryadi mengatakan, dulu mereka sering membawa Mugiarti ke Rumah Sakit Menteng Mitra Afia yang letaknya tak jauh dari rumah mereka.
“Takut ngerepotin anak,” ucap Mugiarti singkat.
Dia menyebut anak-anaknya tetap perhatian. Namun, Mugiarti sendiri lah yang enggan berobat lagi.
Setiap bulan, dia hanya diperiksa dokter dari posyandu. Dokter sebatas memeriksa tensi darah Mugiarti dan pengecekan dasar lainnya.
Meski menahan rasa sakit, Mugiarti masih bersyukur dirinya tidak ditinggal sendirian di rumah.
Jika di pagi hari suami dan anak-anaknya berangkat kerja, siangnya para cucu datang untuk menemani Mugiarti.
Walaupun tak bisa makan banyak, Mugiarti menyempatkan diri untuk menyeruput teh manis bersama cucunya yang tahun depan akan masuk SMP.
Kini, Mugiarti mengaku pasrah dan menerima kehidupan yang dijalaninya.
23/07/2024, 14:55 WIB
Shela Octavia, Irfan Maullana
Tim Redaksi
SUMBER: https://megapolitan.kompas.com/read/2024/07/23/14551121/kisah-mugiarti-9-tahun-terbaring-di-kasur-karena-pengapuran